Bagaimana tidak, beberapa santri tulen semisal KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) turut tampil dalam pergolakan tersebut, atau Nur Cholis Majid (Cak Nur) cendekiawan yang mengenyam lama penididikan pesantren, sangat diperhitungkan partisipasinya dalam proses bergulirnya reformasi. Namun kaum sarungan sepetinya luput dari bidikan wartawan, peran santri tidak terrekam dengan baik dalam pita sejarah reformasi.
Sepuluh tahun reformasi bergulir, sepanjang itu pula nyatanya kiprah kaum sarungan (santri) semakin diperhitungkan dalam interaksi riil sosial, politik dan budaya. Dalam kancah politik, kaum santri tidak lagi menjadi obyek dari kepentingan sesaat politisi dan partai politik, akan tetapi dinamika perpolitikan Indonesia diwarnai pula oleh politisi santri yang tidak lagi malu dengan identitas kesantriannya, atau munculnya partai-partai politik yang berbasis massa kaum sarungan seperti PKB, PKU, PNU, PBR, dan PKNU yang baru-baru ini dideklarasikan oleh beberapa ulama sepuh NU.
Gaung komunitas santri dalam dedikasinya terhadap kondisi bangsa tidak segegap gempita image akademis dan civitas perlu kita baca kembali dengan realitas dipegangnya beberapa pos strategis pemerintahan oleh kaum sarungan, Gus Dur adalah prseiden RI ke 4, ayahnya KH. Wahid Hasyim pernah menjabat sebagai Menteri agama, begitu juga. Mukti Ali dan Saefullah Yusuf adalah sosok santri senior yang sempat tampil dalam birokrasi pemerintahan pusat.
Dalam dunia seni dan budaya, kita akan mengenal Acep Zamzam Noor (penyair asal pesantren Cipasung), atau KH. Musthafa Bisri (budayawan asal pesantren Rembang), dimana kreasi dan inovasi mereka sangat mempengaruhi atmosfir seni dan budaya di nusantara, bahkan Musthafa Bisri adalah budayawan nasional yang kerap dijadikan rujukan umat bukan hanya dalam lini kebudayaan.
Lingkup sosial masyarakat, setidaknya kita bisa melihat peran ormas NU, beserta perangkat dan badan-badan otonomnya banyak mendampingi grass root dalam mengusung agenda reformasi agar benar-benar menyentuh kalangan bawah. Begitu juga bermunculannya lembaga swadaya masyarakat (LSM) banyak yang dimotori oleh kaum sarungan, baik LSM yang konsentrasi di bantuan hukum, lingkungan hidup, kerukunan umat beragama, ekonomi maupun yang bergerak di bidang pendidikan.
Sayangnya dengan realitas sejarah di atas, data sejarah reformasi yang kita kenal selama ini masih menyimpulkan peran kaum santri tetap termarjinalkan dalam ruang publik, saya melihat hal ini disebabkan oleh tiga faktor berikut:
Pertama, minimnya publikasi, peran media dalam menciptakan opini publik sangat dominan, sekecil apapun berita dan peristiwa yang dikemas oleh para kuli tinta dan diekspos melalui media massa (baik cetak maupun elektronik) akan menciptakan opini yang kuat di tengah masyarakat yang mengkonsumsinya. Sayangnya semangat “keikhlasan” yang tertanam dalam pribadi-pribadi kaum santri telah menggusur urgensi unsur propaganda media, padahal inti publikasi itu sendiri sebagai usaha dalam menumbuhkan sikap ghirah (tertarik untuk melakukan) pada orang lain dalam hal yang positif. Sementara di sisi lain tidak jarang komuintas tertentu berani membayar pers demi kepentingan membangun image.
Kedua, Lemah dalam sistematis jaringan, lazimnya lembaga maupun organisasi yang mapan, sistematis networks adalah hal krusial dalam membangun link dengan pihak lain. Sebagai contoh: sekelompok santri yang peduli terhadap lingkungan hidup melalui programro’an (kerja bakti) mingguan, biasanya hanya mengandalkan potensi internal komunitasnya saja, tanpa mencoba mengembangkan sayap kerja dengan berbagai pihak yang se-bidang, baik instansi pemerintah, swasta, maupun Lsm. Jaringan kerjasama dengan pihak eksternal mutlak dibutuhkan dalam rangka melebarkan sayap kerja, yang secara otomatis masyarakatpun akan merasa lebih diayomi oleh para santri. Dengan relasi kerja ini pula, sekelompok santri peduli lingkungan dalam contoh di atas akan terdeteksi peran dan kontribusinya, akan terbaca lebih luas oleh masyarakat segala kiprahnya.
Ketiga, agenda temporer dan kondisional, inilah faktor terkahir yang menyebabkan peran kontribusi kaum sarungan tampak kurang optimal. Kalau kita amati lebih jauh, ternyata banyak jenis kegiatan yang dimotori oleh kaum sarungan sifatnya hanya kondisional, pendidikan poilitik, hanya sebatas menjelang tibanya pemilu, selepas gegap gempita pesta demokrasi, program yang semestinya diadakan berkesinambungan di komunitas lenyap begitu saja. Atau pembekalan manajemen ekonomi dan bisnis, konsistensinya tidak menjadi target dalam mengadakan program kerja. Flash activities inilah yang sebenarnya akan membuahlkan hasil yang serba tanggung, akhirnya masyarakat pun tidak sepenuhnya memahami apa yang ditargetkan oleh agenda kaum sarungan.
Kalau saja tiga faktor di atas diperhatikan oleh kaum santri, saya yakin kontribusi kyai dan santri dalam mengusung agenda reformasi akan lebih terbaca luas oleh publik, bukankah dari 220 juta jiwa penduduk Indonesia 85 persennya adalah muslim? Dan bukankah dari sekian banyak kaum muslim Indonesia mereka adalah kaum sarungan? Lantas yakinkah kontribusi dan peran santri dalam dunia nyata selama ini sangat minim? Untuk itulah saya yakin bahwa kaum santri telah banyak berpartisipasi, walaupun secara kasat mata jarang yang mengapresiasi jerih payah mereka. Wallahu A’lam.
EmoticonEmoticon